Kamis, 09 Juni 2011

Aneh, Orang Indonesia tidak Mau Indonesia Raya

JAKARTA - Pengelola Radio Ibnul Qoyyim di Balikpapan Utara menolak kewajiban menyiarkan lagu Indonesia Raya karena ada unsur musiknya. Setelah pertemuan mereka dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kedua belah pihak sepakat radio komunitas tersebut boleh tidak menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia itu karena akan siaran non-stop 24 jam sehari. Lagu Indonesia Raya wajib disiarkan di awal dan akhir siaran setiap radio, sehingga kalau non-stop berarti tdk ada awal dan tdk ada akhir siaran.

Menurut Sekretaris FPKB DPR RI M. Hanif Dhakiri, secara legal-formal kesepakatan KPI dg pengelola radio Ibnul Qoyyim sah-sah saja. Namun demikian, Hanif mempertanyakan niat baik pengelola radio Ibnul Qoyyim dalam eksistensinya sebagai warga negara Indonesia.

"Buat saya itu hal yang aneh. Orang Indonesia, mengelola radio di wilayah Indonesia, dengan frekuensi Indonesia, lha kok nggak mau nyiarin lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kalau alasannya soal unsur musik, memangnya lagu Indonesia Raya nggak bisa disiarkan tanpa alunan musik?", kata Anggota Komisi X DPR RI ini mempertanyakan.

Hanif menyatakan khawatir dengan beberapa peristiwa aneh belakangan ini yang menandai adanya pendangkalan nasionalisme dan memudarnya ikatan kebangsaan Indonesia. Dia menyebut soal sekolah di Kab. Sukoharjo Jawa Tengah yang tidak mau menghormat bendera merah putih karena dianggap musyrik dan kasus Radio Ibnul Qoyyim yang menolak menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

"Itu mengkhawatirkan dan seperti menandai adanya pendangkalan nasionalisme dan memudarnya ikatan kebangsaan kita. Dari sejumlah survei juga tampak bahwa sikap intoleransi makin berkembang di kalangan generasi muda, termasuk siswa-siswa sekolah umum", katanya.
Lebih lanjut Hanif menerangkan pendangkalan nasionalisme dan memudarnya ikatan kebangsaan itu terjadi diantaranya karena sosialisasi paham kebangsaan kalah massif dengan sosialisasi paham-paham transnasional yang menggunakan jangkar agama, yang dalam kedua kasus tersebut adalah agama Islam.

Oleh karena itu, Hanif mendukung upaya pemerintah mengembangkan program-program deradikalisasi paham yang bertentangan dengan Pancasila dan intensifikasi sosialisasi Pancasila serta pilar-pilar bangsa yang lain seperti UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika .

Namun pada saat yang sama, Hanif juga meminta agar para pemimpin bangsa memberikan keteladanan pada masyarakat.

"Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus tampak pada perilaku para pemimpin kita. Dengan demikian, sosialisasi Pancasila dalam rangka deradikalisasi paham-paham ekstrim bisa berlangsung efektif", ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan pekalongan, pemalang dan batang ini.

Hanif yang juga Ketua DPP PKB itu berpandangan kasus-kasus pendangkalan nasionalisme itu tidak bisa dianggap remeh dan karenanya perlu diwaspadai dan diantisipasi sedini mungkin melalui pelbagai bentuk pembinaan, baik oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi kemasyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

"Hormat bendera atau menyanyikan Indonesia Raya itu memang simbolik. Tetapi simbol-simbol itu menjadi penanda apa yang ada dalam pikiran orang. Jadi nggak bisa diremehkan" pungkasnya. (MHD)

Berita Terkait