Kamis, 09 Juni 2011

Meneguhkan Politik Keagamaan Kita


Bagi bangsa kita, pengalaman tragedi kemanusiaan akibat konflik keagamaan yang berkepanjangan, belumlah sirna dari ingatan dan pandangan kita. Kasus Ambon, Maluku, Poso, terorisme berdalih agama hingga pertentangan internal keagamaan seperti kasus Ahmadiyah masih terus berlangsung dan semakin banyak memakan korban kemanusiaan.
Ya, isu keagamaan hingga sekarang tampaknya masih tetap menjadi isu penting dan bahkan mungkin akan terus menjadi batu ujian serta tantangan dalam menata kehidupan keagamaan di negeri kita. Masalahnya kini, bagaimana menjelaskan dan merespons kebhinekaan serta konflik keagamaan tersebut menjadi suatu proses kedinamisan yang memberikan sumbangan bagi percepatan pembangunan.


Masyarakat Agama

Watak dasar dari masyarakat beragama adalah akan menganggap apa yang dilakukan dalam agamanya benar dan cenderung menganggap apa yang dilakukan oleh orang lain agama sebagai yang tidak benar. Dalam bahasa sosiologi agama, watak dasar untuk selalu menganggap benar apa yang diyakini (otodoksi) dan yang dipraktekan (ortopraksi) tersebut dikenal dengan truth claim (klaim kebenaran). Klaim kebenaran inilah yang menjadi karakteristik dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran. Sebab, tanpa adanya truth claim, maka agama sebagai bentuk kehidupan yang distingtif tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya. Inilah yang lalu melahirkan kristalisasi iman dan kecintaan terhadap suatu agama yang diyakininya, serta mendorong timbulnya minat untuk mempelajari, mengamalkan dan menyebarkan ajaran-ajarannya, bahkan mempertahankan eksistensinya.

Dengan watak dasar tersebut, maka pluralitas sebenarnya menyimpan potensi konflik serta ketegangan sosial-politik yang sangat rawan, bahkan menjadi suatu keniscayaan. Keniscayaan konflik inter dan antar umat beragama ini, setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama, masalah paradigma dan interpretasi keagamaan. Kedua, masalah implemetasi pemahaman keagamaan dalam kehidupan sosial. Ketiga, masuknya dimensi-dimensi kepentingan politis dalam interpretasi dan implementasi keagamaan.

Masalah paradigma beragama dan interpretasi keagamaan kerapkali menjadi pemicu terjadinya perbedaan yang mengarah kepada konflik inter dan antar umat beragama. Demikian pula dengan fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh pemuka-pemuka agamanya berkembang ke arah “idiologisasi” yang bersifat aksiomatik-positivistik-monistik, yaitu sebagai satu-satunya kebenaran yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
Kecenderungan di atas, terlebih semakin membuka luas potensi akan terjadinya konflik inter dan antar umat beragama dengan masuknya kepentingan-kepentingan politis yang mengatasnamakan agama. Kesalehan dan pemihakan atas pandangan keagamaan tertentu seringkali ditonjolkan dengan maksud hanya untuk memenuhi kepentingan pragmatis, seperti untuk memperoleh suara dalam pemilu. Kesalehan serupa hanya sering ditampilkan sebagai persyaratan untuk memperoleh dukungan atau jabatan-jabatan politis tertentu. Karena itu, baik paradigma dan interpretasi keagamaan, implementasinya dalam sikap dan kehidupan keberagamaan, serta terlebih dengan masuknya dimensi-dimensi politik yang mengatasnamakan agama, potensi konflik antar dan inter umat beragama semakin terbuka dan seiring dengan itu, konflik juga akan menjadi suatu keniscayaan.

Tantangan Demokrasi

Suatu kenyataan historis bahwa di Indonesia telah hidup kebhinekaan agama, termasuk di dalamnya kebhinekaan faham keagamaan inter umat beragama. Pluralitas keagamaan tersebut, kini semakin dikukuhkan melalui arus reformasi yang dalam wacana politik telah mendorong lahirnya multi partai serta menuntut iklim yang lebih demokratis dan inklusif, termasuk dalam sikap keberagamaan. Dengan mengalirnya arus reformasi tersebut, saat ini telah terjadi transformasi kehidupan sosial-keagamaan di Indonesia, seperti kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya ekspresi keagamaan, semakin mendapat tempat yang terbuka.

Arus demokratisasi kehidupan beragama pada gilirannya akan menuntut keterbukaan untuk menerima berbagai keyakinan. Jika tidak, maka Indonesia akan dianggap sebagai penghambat demokrasi yang disadari atau tidak, justru akan melahirkan pelanggaran HAM dalam beragama.

Lebih jauhnya, keputusan politik yang membatasi kebebasan beragama, akan menumbuhkan rasa frustasi mendalam bagi suatu penganut keyakinan tertentu yang tidak terartikulasikan kepentingan-kepentingannya. Ini pada gilirannya dapat mendorong mereka ke arah ektrimisme keberagamaan yang lebih membahayakan.

Kita perlu landasan pijak dalam menata kehidupan kebangsaan. Disini pula terasa penting untuk mengembangkan wawasan agama madani (civil religion) bagi pengembangan politik keagamaan yang lebih baik. Wawasan agama madani dalam masyarakat plural di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan suatu wawasan kearifan budaya dalam menata dan membangun kehidupan keberagamaan yang lebih aktif, kreatif, dinamis, dialogis, responsif, demokratis dan tranformatif sebagai salah satu upaya mewujudkan cita-cita sosial masyarakat madani (civil society) yang menjadi wacana perpolitikan bangsa Indonesia dewasa ini.

Pembangunan agama madani dalam konteks masyarakat plural di Indonesia tidak dapat diselenggarakan dengan begitu saja, melainkan diperlukan suatu konsensus-konsensus yang menjamin ketentraman hidup bersama dan terbuka pada kemajuan, berupa nilai dan norma umum yang harus dihormati serta mengikat semua aliran keyakinan dan golongan agama. Sebab, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan penciptaan dalam pluralisme bukan untuk eksploitasi manusia oleh manusia, melainkan untuk berlomba dalam berbuat kebajikan; memelihara cinta, kasih sayang dan perdamaian.

Bagi bangsa Indonesia, konsensus bersama ini menjadi sangat penting karena dalam sejarah perkembangan sosial Indonesia semenjak masa kebangkitan nasional hingga sekarang selalu bergumul dalam konsensus dan konflik. Konsensus ini menjadi lebih penting lagi terutama setelah arus reformasi mengukuhkan pluralitas seperti dalam sistem politik multi partai yang tentu saja sangat rawan dengan konflik kepentingan dan ketegangan sosial politik.
Konsensus-konsensus inilah yang harus secara konsisten diperjuangkan oleh seluruh komunitas beriman, baik yang berada di pemerintahan, parlemen maupun oleh para pemuka agama dan juga mereka yang bergelut di dunia pendidikan.

Nah, dalam hal ini penting dilakukan, pertama, menanamkan nilai-nilai pluralitas dan wawasan agama madani kepada masyarakat sejak dini, seperti dengan memasukan muatan baru pada kurikulum pendidikan, mulai pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kedua, memberikan wawasan yang lebih dewasa dan egaliter melalui kharisma para pemuka agama untuk mengembangkan sikap yang lebih arif dan inklusif serta lebih mengedepankan aspek universal social ethic dalam merespons pluralitas inter dan antar umat beragama.
Ketiga, perlu dikembangkan forum-forum komunikasi antar umat beragama khususnya untuk lebih mengintensifkan sosialisasi aspek-aspek universal social ethic dalam pembinaan kehidupan sosial keagamaan. Keempat, dalam kehidupan politik, para aktivis serta pendukung partai-partai politik perlu mempertimbangkan kembali penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam memperjuangkan kepentingan kelompok yang sekiranya dapat menimbulkan renggangnya ikatan kebersamaan dalam kebhinekaan umat beragama.

Berita Terkait