Selasa, 14 Juni 2011

CAFTA dan Keberpihakan Negara

Oleh: Marwan Ja‘far*

AKHIR-AKHIR ini muncul desakan kuat agar pemerintah melakukan negosiasi ulang atas Perjanjian Perdagangan Bebas CHINA-ASEAN (CAFTA). Banyak argumen yang dikemukakan. Salah satunya, karena ada indikasi bahwa ada persaingan tidak adil dalam perjanjian perdagangan bebas tersebut. Negosiasi perlu dilakukan karena CAFTA, antara Indonesia dan China, berjalan timpang dan tidak seimbang.

Penting dicatat, setelah satu tahun Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas China-ASEAN diberlakukan, Januari 2010, praktis produk China menguasai setiap lini di negeri ini. Data menunjukkan, per akhir 2010 saja, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China US$49,2 miliar, sementara nilai impor dari China sebesar US$52 miliar.

Langkah apa yang harus dilakukan negara agar kekhawatiran dampak negatif pemberlakuan CAFTA--sebagaimana pernah dikatakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)--tidak menjadi mimpi buruk dan semakin memperlemah daya saing industri nasional? Ini penting karena ketika tidak diambil kebijakan yang tepat, dikhawatirkan CAFTA--pelan tapi pasti--akan melumpuhkan industri nasional. Saat ini saja, sebagai dampak pemberlakuan CAFTA, sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan.

Menyikapi persoalan di atas, maka peran dan keberpihakan negara lewat kebijakan yang tepat mutlak diperlukan sehingga mampu menjadikan CAFTA sebagai pemantik dalam upaya mendongkrak ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan publik yang bisa ditempuh negara adalah lewat apa yang oleh Jaffee (1998) disebut dengan custodian role. Yakni peran negara untuk melindungi, mengawasi, serta mencegah terjadinya perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan.

Keberpihakan negara lewat kebijakan publiknya harus diambil agar tidak melumpuhkan bahkan mematikan industri nasional. Komitmen keberpihakan pemerintah ini penting. Sebab, sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang menjadi pihak dari perjanjian tersebut, Indonesia tentu harus menaati perjanjian CAFTA ini dan tidak seenaknya membatalkan.

Inti persoalan utama mengapa pemerintah harus mengambil langkah serius terkait CAFTA adalah karena menurut prinsip-prinsip yang tercantum dalam kerangka perjanjian, kedua pihak harus secara bertahap menurunkan tarif produk yang kompetitif secara global lebih cepat daripada produk yang sensitif. Konsekuensinya, Indonesia harus menghapus secara progresif semua hambatan tarif dan nontarif dalam semua perdagangan barang.

Jika tahun 2004 tarif bea masuk ke Indonesia dalam skema CAFTA masih 9,9 persen, maka sejak 2010 sudah turun drastis menjadi 2,9 persen. Tak pelak, produk-produk China kini semakin membanjiri pasar Indonesia dan merambah seluruh lini. Inilah sebenarnya pokok masalah yang banyak diserukan dan dikhawatirkan berbagai kalangan, terutama kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang sangat merasakan dampak langsung perjanjian ini.

Dampak paling nyata adalah barang China laku keras di pasar dalam negeri dan menyebabkan nilai impor naik 45,9 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada beberapa produk. Antara lain: produk tekstil 33 persen, mainan anak 72 persen, furnitur 54 persen, elektronik 90 persen, dan permesinan 22,22 persen. Peningkatan tajam juga terjadi pada produk makanan dan minuman serta alas kaki.

Tak banyak disadari bahwa dari sudut pandang ekonomi, China dan ASEAN sebenarnya lebih sebagai pesaing (kompetitor) satu sama lain daripada komplementer (saling melengkapi). Padahal, tujuan utama membentuk kawasan perdagangan bebas adalah untuk memanfaatkan komplementer. Sifat kompetitif dalam hubungan CHINA-ASEAN ini bisa ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ASEAN dan China bukan saling menjadi pasar ekspor utama. Orientasi ekonomi tetap saja negara-negara industri Barat, seperti: UE dan AS, termasuk Jepang.

Masalah menjadi besar ketika perjanjian Free Trade Area (FTA) dengan China merambah ke sektor pertanian. Seperti diketahui, sejak lahirnya WTO tahun 1995, secara otomatis sektor pertanian masuk ke dalam kerangka perdagangan multilateral lewat Agreement on Agriculture (AoA) karena Indonesia merupakan anggota WTO. Konsekuensinya, Indonesia wajib meliberalisasi pasarnya secara bertahap. Karenanya, masuknya sektor pertanian sebagai salah satu fokus CAFTA jelas akan semakin membuat membanjirnya bahan pangan impor dan memurukkan sektor pertanian kita.

Mencermati berbagai persoalan di atas kaitannya dengan kesepakan CAFTA, ada beberapa hal yang bisa ditempuh negara agar CAFTA tidak mematikan industri nasional. Pertama, pemerintah harus menciptakan kebijakan-kebijakan stimulan serta memunculkan daya saing industri lokal sehingga lebih kompetitif. Sebab, di sinilah sebenarnya akar masalahnya. Belum memadainya berbagai infrastruktur yang mampu menopang efektivitas dan efisiensi produk dan faktor daya saing lainnya seperti: jalan, pelabuhan, listrik serta suku bunga perbankan dinilai menjadi penyebab industri domestik tidak kompetitif.

Kedua, pemerintah harus mengambil terobosan inovatif untuk lebih menyinergikan dan mengoordinasikan antarpemangku kepentingan. Tidak hanya antara pemerintah dan sektor swasta, tetapi juga antarinstansi pemerintah, antara pemerintah pusat dan daerah, dan antarberbagai regulasi dan penegakannya (enforcement). Ini penting karena dalam batas-batas tertentu ternyata banyak regulasi yang justru memperburuk daya saing ekonomi domestik kita.

Ketiga, pemerintah harus mulai benar-benar menyediakan data akurat tentang pemetaan kebutuhan pasar China. Selama ini tidak ada data yang akurat dari pihak China sehingga pemetaan kebutuhan pasar China-Indonesia sangat minim. Akibatnya, pelaku usaha nasional masih harus meraba-raba karakteristik dan kebutuhan pasar China. Hal ini jelas akan mempersulit untuk membuat kebijakan yang tepat.

Pilihan kebijakan yang tepat serta keberpihakan negara dalam menghadapi kesepakan CAFTA adalah keharusan yang tak bisa ditawar. Indonesia tentu sangat sulit mundur dari kesepakatan CAFTA. Pakta perdagangan bebas--suka tidak suka--telah datang dan kita harus siap menyongsongnya. Kesepakatan tersebut harus mampu kita arahkan sejalan dengan strategi meningkatkan perekonomian bangsa.

*Marwan Ja'far, ketua FPKB DPR RI, artikel ini pernah dimuat di Harian Jurnas tanggal 14 JUni 2011

Berita Terkait