Sabtu, 18 Juni 2011

NU dan Kosmopolitanisme

Oleh: Marwan Ja'far

Sebuah peradaban dari suatu bangsa untuk menuju ke arah yang lebih sempurna sudah menjadi keniscayaan terjadinya secara evolutif dan hereditas. Ia akan lebih cenderung bersifat kooperatif terhadap pemikiran-pemikiran baru yang kemudian dikombinasikan dengan pemikiran-pemikiran yang ada, guna merubah pola pikir yang lebih maju.

Sebuah sikap kosmopolitanisme peradaban akan tercapai atau berada pada titik optimal manakala mampu merengkuh keseimbangan antara kecenderungan normatif dan kebebasan berpikir semua anggota masyarakat


Tentu saja sebuah evolusi bukan tidak memiliki hambatan yang serius. Justru dengan adanya dialektika intern inilah, kedewasaan sebuah bangsa tercipta. Lantas, ia akan membentuk karakter masing-masing untuk bisa berperan dalam membangun bangsanya yang akhirnya berujung pada kebangkitan (nahdhah) kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan.

Indonesia sejak semula telah berwatak kosmopolitan. Dari lingkungan alamnya yang diwarnai kepulauan dan lautan telah membentuk karakter keindonesiaan yang kosmopolit. Sejak dulu, Indonesia telah menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.

Jadilah Indonesia sebagai taman dari peradaban dunia dengan mental penduduknya yang berjiwa kosmopolitan. Karakter keindonesiaan yang kosmopolit mengacu pada kesanggupan menerima dan menumbuhkan. Apapun budaya dan ideologi yang masuk ke Indonesia dijamin mampu berkembang sejauh bisa dicerna secara rasional dan kultural.

Kosmopolitanisme sendiri bermakna sikap terbuka untuk bersedia berinteraksi dan menyerap berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban lain.

Dalam sejarah bangsa ini, terbukti bahwa Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara masa lalu dan masa depan. Di sini, NU telah dan akan terus memainkan peran signifikan dalam setiap perubahan masyarakat bangsa ini, baik peran sebagai penjaga gawang, pengatur serangan maupun penyerang di garis depan.

Globalisasi, modernisasi, dan liberalisasi yang deras melanda secara mondial termasuk yang dirasakan bangsa kita, sepanjang pergulatan NU terbukti telah mampu ‘’dijinakkan’’. Hal ini, bisa terlihat dari dinamika perjalanan organisasi pada masa revolusi Indonesia hingga sekarang bahwa NU senantiasa mengambil hal-hal positif dari proses itu sembari mampu meminimalisasi hal-hal yang negatif.

Cakupan Luas

Tradisi dalam pandangan NU merupakan sebuah cara berpikir yang berlandaskan pada khazanah klasik dan peduli pada otentisitas sumber. Karena, di sanalah pemikiran keislaman model NU berakar. NU dalam berpikir selalu memperhatikan sejarah, tradisi dan otoritas ilmiah yang lain. (Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, LKIS, 2006). Watak organisasi seperti inilah yang memalingkan pandangan bahwa NU berciri konservatif, asosial, tidak empirik dan melulu normatif.

Salah satu yang menopang watak kosmopolitanisme NU adalah tradisi berpikir serba fikih. Kaidah fikih semisal apa yang tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggalkan semuanya (ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh) memungkinkan NU bisa keluar dan memberi solusi yang rasional dari kebuntuan yang sering dihadapi masyarakat.

Dengan prinsip-prinsip fikih ini maka NU tidak mudah terjebak pada cara berpikir yang kaku dan eksklusif, sekaligus tidak terjebak pada pemikiran liberalisme yang dipandang kebablasan. Nahdlatul Ulama dapat menerima modernitas, tetapi juga tetap menghargai tradisinya secara kokoh. Inilah yang dalam tradisi NU dikenal dengan kaidah al muhafazhah ëala al qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (mempertahankan tradisi atau pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik, dari manapun datangnya).

Berangkat dari prinsip-prinsip ini pula, NU tidak gampang mengafirkan atau menyesatkan kelompok lain hanya karena perbedaan pandangan keagamaan, lebih-lebih hanya sekedar masalah furu’iyyah. Dalam hal ini, NU senantiasa berpegang teguh pada prinsip ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’yu ghairina khatha yahtamil al-shawab (pendapat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin saja benar). Di sisi yang lain, NU juga tidak sepenuhnya membiarkan begitu saja pemahaman yang machiavelis, serbamenghalalkan segala cara.

Memang prinsip aswaja selama ini di lingkungan NU lebih banyak digayutkan dengan masalah teologi, fikih, dan tasawuf. Namun, arus besar di NU sudah banyak melakukan tafsir secara lebih meluas cakupannya yang meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Ada keyakinan, tanpa melakukan pengembangan, aswaja akan sekadar menjadi muatan doktrin yang tidak mempunyai relevansi sosial. (10)

*Ketua FPKB DPRRI, tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Merdeka tanggal 18 Juni 2011

Berita Terkait