Oleh: Marwan Ja'far*
Apapun, dimana saja dan kapan saja, sepak bola memang selalu menarik dan memesona. Biarpun ada perang, krisis, bencana, korupsi, skandal suap, wasit dan permainan yang tidak fair play, namun sepak bola tak pernah lapuk dan layu. Ia akan terus menghibur, dan tak lagi sekedar olah raga. Bukan itu saja, di sepak bola bersemayam dunia para hero. Di dalam permainannya, bagai arena gladiator, saling mengerahkan kehebatan seakan melampaui batas-batas kemampuan kemanusiaannya.
Ya, sepak bola menyimpan jamak dimensi hayati. Ia bisa memecut refleksi dalam sunyi dan juga reaksi bergelegar nan bertubi-tubi. Apalagi terpampang heboh, kisruh, kemelut, jegal-jegalan, kartelisasi, politisasi atau apapun bentuknya dalam pengelolaan sepak bola, bisa memuntahkan “erupsi” yang bakal mengoyakngoyak tatanan. Bagi kaum hooligan atau gibol, karut marut persepakbolaan nasional bisa membawa amuk yang membakar.
Oleh: Marwan Ja'far*
Apapun, dimana saja dan kapan saja, sepak bola memang selalu menarik dan memesona. Biarpun ada perang, krisis, bencana, korupsi, skandal suap, wasit dan permainan yang tidak fair play, namun sepak bola tak pernah lapuk dan layu. Ia akan terus menghibur, dan tak lagi sekedar olah raga. Bukan itu saja, di sepak bola bersemayam dunia para hero. Di dalam permainannya, bagai arena gladiator, saling mengerahkan kehebatan seakan melampaui batas-batas kemampuan kemanusiaannya.
Ya, sepak bola menyimpan jamak dimensi hayati. Ia bisa memecut refleksi dalam sunyi dan juga reaksi bergelegar nan bertubi-tubi. Apalagi terpampang heboh, kisruh, kemelut, jegal-jegalan, kartelisasi, politisasi atau apapun bentuknya dalam pengelolaan sepak bola, bisa memuntahkan “erupsi” yang bakal mengoyakngoyak tatanan. Bagi kaum hooligan atau gibol, karut marut persepakbolaan nasional bisa membawa amuk yang membakar.
Lalu, apa jua yang akan kita dambakan bila Kongres PSSI berakhir ricuh? Pertikaian dan saling ngeyel antar kubu terus meledak-ledak mewarnai institusi sepakbola dambaan bangsa Indonesia itu. Sepertinya tak ada ikhtiar kompromi, bahkan mencari segala cara demi meraih puncak kepemimpinan PSSI. Kalau begitu, sepak bola yang sejatinya mengajarkan sportivitas, realisme nasib dan kekompakan, akankah menjadi kontraproduktif bagi penataan sepak bola nasional? Padahal, seperti kata filsuf Albert Camus, Dalam hal keutamaan dan tanggungjawab, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola.
Cermin peradaban
Situasi chaos memang momok bagi siapapun. Siapa yang tidak kebatkebit bila ditengara bahwa Jakarta akan dilanda gempa dengan kekuatan 8,6 skala richter? Tentu ini membikin masyarakat cemas dan lalu bersiaga. Tapi, cobalah palingkan sejenak ke dunia bola dan simak kata-kata Johan Cruyff, pemain bola legendaris asal Belanda, Bola pada hakikatnya adalah sebuah chaos yang dikuasai dan dikontrol.
Benar memang. Sepintas permainan bola laiknya sebuah chaos. Di lapangan hijau, para pemain menggiring bola ke sana kemari, berupaya menerjang pertahanan lawan, beradu cepat dengan satu tujuan membobol gawang lawan. Namun, dalam polah ingkah dalam permainan bola inilah esungguhnya termaktub permainan ang teratur, berirama dan punya cita rasa seni. Dalam kultur permainan bola esebelasan Brazil misalnya muncul istilah gaya goyang Samba.
Adanya chaos bukanlah untuk dihindari atau ditakuti, sebaliknya harus dihadapi dan bahkan kalau perlu diciptakan. Sebab, hanya dengan keberanian dan taktik yang cerdas, maka chaos bisa dikuasai dan dikontrol. Dan dari kegigihan “menjinakkan” chaos ini pula, lahirlah keteraturan dan kemanfaatan yang terfokus. Kemudian lahirlah juga diktum, siapa yang paling bisa mengontrol chaos dalam permainan sepak bola, maka dialah yang paling mampu bermain indah.
Begitulah, dalam sepak bola, chaos bersalin rupa menjadi kosmos. Artinya, dari kesan sebuah permainan yang keras menjadi tertib dan elok. Dan sesungguhnya, dalam kejar-kejaran dan saling berebut bola itulah – menyitir kata-kata sastrawan Frans Kafka, setiap detik hidup adalah final. Tegasnya, bukan chaos yang dituju, tapi keberaturan dan kesatupaduan tim dengan tujuan mencapai final yang elegan dan bertanggungjawab.
Lagi-lagi, inilah keistimewaan sepakbola. Bukan semata permainan pula, olah raga rebutan bola tersebut bisa menjelma menjadi “jejak nalar” dalam menafakuri kehidupan nyata di masyarakat. Berbeda dengan olah raga lain, sepakbola merupakan perpaduan berbagai unsur yang selama ini dianggap berbeda, bahkan bertentangan oleh manusia. Jika selama ini nalar anusia terkerangkeng dalam logika ikotomisme, maka dalam permainan bola terjadi dekonstruksi logika dikotomik itu. Segala yang kita anggap bertentangan dapat disatukan secara organik di lapangan hijau.
Di lapangan hijau, setiap pemain bola bolehlah ditahbiskan sebagai pemilik kebebasan. Namun pada saat yang sama, ketika ia menjejakkan kaki di lapangan, ia berada dalam sebuah kekuasaan yang tidak bisa dikontrol olehnya dan ia harus tunduk pada kuasa itu. Kuasa itulah yang mengatur segala hal tentang persepakbolaan sehingga memiliki ritme, irama dan pola permainan yang khas sepakbola.
Di sinilah, bisa ditandaskan bahwa sepakbola sesungguhnya bisa menjadi cermin kehidupan sosial masyarakat. Postulat yang ada merumuskan bahwa masyarakat yang tertib dan teratur ditandai oleh ketaatan terhadap hukum dan aturan. Supremasi hukum berdiri tegak dalam masyarakat model ini. Sebaliknya, ketidaktaatan pada hukum menjadi pertanda masih rendahnya tingkat peradaban masyarakat bersangkutan.
Jika saat ini masyarakat Indonesia tengah dibuat galau oleh berbagai persoalan krusial seperti radikalisme, terorisme, NII, korupsi yang masih gahar atau berbagai perilaku moral menyimpang lainnya, maka persoalan tersebut sebenarnya telah lama selesai di lapangan hijau. Mengapa demikian? Lihatlah, seorang pemain bola memiliki kebebasan individual untuk melakukan improvisasi giringan bola, namun gerakannya tersebut harus tetap dalam konteks permainan kolektivitas timnya. Pelanggaran atas batas itu dapat membuat ia dicampakkan dari lapangan hijau, baik oleh pelatih maupun wasit, atau kekalahan bagi timnya. Seorang penyerang atau striker dalam sepak bola, mesti menyadari bahwa skill dan kerja sama sangat menentukan keberhasilan tim. Dia tidak mungkin bisa melesakkan bola ke gawang jika tidak menerima umpan yang akurat dari rekannya.
Kini, bagaimana dengan dunia sepak bola kita dan juga PSSI? Berbagai tragedi dalam sepakbola nasional seperti tawuran, keberpihakan wasit, suap-menyuap secara tidak langsung merupakan ekspresi keruwetan sosial, politik dan budaya masyarakat kita. Walaupun sebenarnya kita wajib bangga, belakangan dunia sepak bola kita mengalami kemajuan yang “revolusioner” dengan keharuman nama dan kewibawaan di ajang internasional. Pemain-pemain muda yang lebih trampil dan profesional banyak dilibatkan dan juga dengan model naturalisasi pemain nasional. Pelatihan- pelatihan pun digerakkan sedemikian bergairah bahkan harus melalui pelatihan secara militer. Tak pelak, ini menandai era kebangkitan sepak bola kita setelah lama dirundung kegetiran.
Nah, kisah tentang mengkilapnya pamor kesebelasan sepak bola kita, janganlah sampai “tercemari” oleh kegaduhan institusinya, yaitu PSSI. Sudah waktunya, kita hilangkan sifat “taman kanak-kanak” yang hanya suka bermain dan saling rebutan posisi. Tak perlu ada anti klimak dan deadlock dalam konggres hanya dipacu oleh kepengurusan. Ada hal yang lebih besar dan penting, yaitu visi membangun “peradaban sepak bola” demi kegemilangan bangsa dan negara kita. Justru saat inilah momen tepat untuk menggelorakan revolusi PSSI dengan strategi total football secara kreatif lewat kepengurusan yang solid sehingga akan menggapai prestasi yang lebih gemilang.
Sepak bola bukanlah pertunjukan yang dangkal, sebab dalam sepak bola, pemain pemainnya berjuang dengan kegigihan, walaupun tak mesti berakhir dengan kemenangan yang membahana. Seringkali perjuangan matimatian hanya mengantarkan pada kekalahan yang pahit. Ya, dalam sepak bola, kita saksikan ada tragedi, komedi, ketabahan untuk siap kalah dan tekad untuk menang. Itulah sikap demokrasi yang diteladankan dalam permainan bola yang seharusnya melekat di tubuh PSSI.
*Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB DPR RI, Artikel ini pernah di muat di Harian Bernas Jogja tanggal 28 Mei 2014