Selasa, 31 Mei 2011

Asumsi Harga Minyak Harus Realistis

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih realistis dalam penetapan asumsi mengenai lifting, harga minyak, maupun konsumsi BBM di tahun 2012. Pasalnya, asumsi yang ditetapkan selama ini selalu meleset dari target. Desakan tersebut terungkap dalam rapat kerja bersama antara Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Komisi VII DPR RI.
"Jangan terburu-buru menentukan asumsi soal minyak 2012, asumsi yang ditetapkan pemerintah selama ini mulai dari lifting, konsumsi BBM subsidi selalu jauh dari target. Dari tahun ke tahun tidak pernah tepat. Misalkan lifting dari target 970 ribu barel, BP Migas hanya mampu di level 933 - 950 ribu barel per hari (bph)," kata Anggota Komisi VII DPR RI Agus Sulistiyono dalam raker soal asumsi minyak tahun 2012 di Jakarta, Senin (30/5).

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih realistis dalam penetapan asumsi mengenai lifting, harga minyak, maupun konsumsi BBM di tahun 2012. Pasalnya, asumsi yang ditetapkan selama ini selalu meleset dari target. Desakan tersebut terungkap dalam rapat kerja bersama antara Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Komisi VII DPR RI.

"Jangan terburu-buru menentukan asumsi soal minyak 2012, asumsi yang ditetapkan pemerintah selama ini mulai dari lifting, konsumsi BBM subsidi selalu jauh dari target. Dari tahun ke tahun tidak pernah tepat. Misalkan lifting dari target 970 ribu barel, BP Migas hanya mampu di level 933 - 950 ribu barel per hari (bph)," kata Anggota Komisi VII DPR RI Agus Sulistiyono dalam raker soal asumsi minyak tahun 2012 di Jakarta, Senin (30/5).

Kondisi yang sama terjadi pada BBM bersubsidi. Pemerintah sering menyatakan subsidi tidak tepat sasaran dan dinikmati golongan mampu, tetapi sampai saat ini pemerintah belum melakukan langkah konkret untuk mengontrolnya. Untuk itu, Agus meminta pemerintah mengaji lebih mendalam sebelum menetapkan asumsi soal minyak tahun 2012.

"Harus diperinci, dari 19 persen itu berapa pertumbuhan sepeda motor, bus, dan kendaraan lain sehingga dapat diketahui untuk asumsi kebutuhan konsumsi tahun depan. Jadi, untuk menetapkan asumsi itu harus didukung data yang valid, sekarang yang disampaikan pemerintah belum detail," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo menyatakan asumsi masih akan dibahas lebih lanjut dengan Badan Anggaran dan dilaporkan kepada Menteri ESDM. "Misalkan untuk harga minyak mentah Indonesia atau ICP, memang kita tidak mudah untuk mendapatkan harga yang tepat. Jadi, kita akan dalami agar perkiraan ICP lebih mendekati angka," paparnya.

Dalam raker, Evita memaparkan bahwa ICP tahun 2012 dipatok di kisaran 75 dollar - 97 dollar AS per barel dengan dasar perhitungan faktor geo politik, pasokan minyak mentah dari OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak), krisis finansial di Eropa yang berlanjut, serta bencana alam.

Kenaikan harga yang terjadi saat ini, katanya, akibat kondisi geopolitik di Timur-Tengah, dampak lanjutan gempa dan tsunami Jepang, hingga dampak krisis utang Eropa.

"Tetapi komitmen pasokan minyak dari OPEC menahan kenaikan harga itu. Jadi, untuk 2012, kita asumsikan ICP kita di level 75-97 dollar per barel. Sampai tanggal 22 Mei, dari ICP kita 80 dollar per barel realisasinya naik menjadi 107,5 dollar per barel," ungkapnya.

Evita menambahkan untuk lifting minyak di tahun 2012, pemerintah mengusulkan di level 950-970 ribu barel per hari, meskipun pemerintah mengakui sampai saat ini realisasi lifting 2011 masih di level 897 tibu bph dari target lifting 970 ribu bph. Untuk volume bahan bakar minyak (BBM), pemerintah menetapkan prognosis sebesar 41,7 juta kiloliter.

Pengendalian BBM

Kepala BPH Migas Tubagus Haryono akan melakukan upaya pengendalian untuk meredam kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Jika tidak dilakukan pengendalian, kata Tubagus, asumsi konsumsi BBM tahun 2012 sebesar 41,7 juta kiloliter akan terlampaui.

"Jika dibiarkan longgar, maka konsumsi 2012 bisa menembus 45,6 juta kiloliter atau naik dari asumsi kita di level 41,7 juta kiloliter. Dengan best effort, konsumsi premium akan terjaga di level 25,1 juta kl, tetapi kalau dibiarkan longgar akan naik menjadi 27,8 juta kl, solar juga berpotensi naik dari 14,4 menjadi 15,7 juta kiloliter," ungkapnya. (sumber: koran jakarta)

Berita Terkait