JAKARTA - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI secara penuh mendorong segera terwujudnya Undang-Undang tentang keperawatan di Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua FPKB DPR RI Marwan Ja’far saat membuka acara diskusi dengan tema “’Mendorong Lahirnya Perawat Yang Mandiri dan Profesional” di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu, 15/6/2011.
Menurut Marwan RUU ini sangat penting untuk segera dibahas dan diundangkan karena alasan-alasan sebagai berikut : pertama; sebagai bentuk payung hukum yang melindungi para perawat, sehingga aktifitas dan sepakterjangnya dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Kedua; belum ada political will dari pemerintah untuk memberdayakan perawat. Ketiga; agar tidak ada tumpang tindih antara peran dan fungsi seorang dokter dan perawat.
“Saya harap, diskusi ini tidak hanya sampai disini, kalau perlu para perawat-perawat itu demo didepan Istana dan di DPR untuk memperjuangkan hak-haknya, karena sekarang ini kadang-kadang hal seperti itu dibutuhkan” terangnya.
Chusnunia selaku Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) IX FPKB mempertegas perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
“Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar (60%) dan berada di garis terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan selama 24 jam secara terus menerus memberikan pelayanan kepada masyarakat di setiap sudut pelosok negri ini,” ujarnya saat tampil sebagai pembicara.
Menurut Chusnunia perjuangan perawat untuk mendapatkan payung hukum terkesan terus dihambat. Ia menjelaskan, awalnya RUU Keperawatan sudah menjadi prioritas no. urut 160 dalam Proglesnas 2004, no. urut 26 pada Proglesnas 2009, dan akhirnya menjadi inisiatif DPR menjadi no. urut 18 tahun 2010.
“Tapi, pada Sidang Paripurna 12 Oktober 2010 lalu dengan semena-mena menunda usulan Baleg dan justru memasukkan RUU Tenaga Kesehatan menggantikan RUU Keperawatan” paparnya dengan geram.
Soal lainnya, terangnya, karena muncul tarik ulur kepentingan dibalik kontroversi RUU Keperawatan versus RUU Tenaga Kesehatan, yakni soal kelembagaan perawat dan ‘bisnis’ perijinan baik ijin praktek perawat maupun juga ijin penyelenggaraan pendidikan perawat,” katanya. Kepentingan ekonomi secara tersirat lebih mengemuka dibandingkan kebutuhan perawat yang ingin mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas keputusan-keputusan yang diambilnya saat menjalankan praktek keperawatan.
“Sudah sepatutnya negara membuat pengaturan yang kuat, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan perawat yang buruk dan tidak bertanggung jawab”jelasnya.
Ia mencontohkan, kasus Misran yang pernah hangat hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi bulan Mei 2010 lalu. Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak terbantahkan betapa akan terancamnya pelayanan kesehatan pada daerah-daerah terpencil bila perawat selalui dihantui oleh resiko masalah hukum karena tidak ada pengaturan UU untuk perawat tersendiri.
Harif Fadhillah dari Asosiasi Perawat Indonesia menjelaskan UU keperawaatn sangat penting karena akan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat yang akan memanfaatkan pelayanan keperawatan.
“Faktanya, 40 persen Puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter, sehingga seluruh pelayanan kesehatan dilakukan oleh perawat, namun belum jelas perlindungan hukumnya”ungkapnya.
Ia memaparkan hasil survei dari Depkes dan WHO tahun 2005 menyebutkan 92,6 % perawat melakukan diagnosa medis, 93,1 % menulis resep, 97,1 % memberi pengobatan dan 70,1 % melakukan periksa pre-natal dan tindakan postnatal di praktek-praktek swasta.
Sehingga menurut Harif, dalam UU keperawatan nanti harus mengatur tentang lingkup keperawatan yang mencakup peran, fungsi dan wewenang perawat.
Sementara Suharti, SKp, Mkes pembicara dari Direktur Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisan Medik Ditjen BUK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memaparkan permasalahan masih lemahnya pengembangan karir tenaga perawat dan bidan.
“Hasil Monev, hampir 80 % perawat diperintahkan untuk melaksanakan tugas dokter atau tugas limpah tanpa delegasi tertulis, tanpa payung hukum, tanpa imbalan yang jelas. Sementara dia hanya 20 % nya saja mengerjakan tugasnya yang mandiri, seharusnya sebaliknya”terangnya.