Jumat, 17 Juni 2011

Mengakhiri ‘Kutukan SDA’

Oleh : Marwan Ja'far*

Rencana pemerintah untuk mengkaji ulang dan renegoisasi kontrak-kontrak karya pertambangan serta investasi asing yang tidak adil dan merugikan negara patut disambut positif oleh semua elemen bangsa. Sudah saatnya rakyat bangsa ini harus dapat menikmati kekayaan sumber daya alam (SDA) secara maksimal.

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila (1/6) untuk meninjau ulang satu persatu kontrak-kontrak yang cenderung merugikan Negara merupakan oase di tengah dahaga rakyat untuk dapat segera menikmati kekayaan sumber daya alam yang berlimpah di negeri ini.

Optimisme publik kian meninggi seiring dimasukkannya renegosiasi kontrak kar ya tersebut menjadi salah satu bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Pemerintah mengharapkan renegosiasi dapat meningkatkan nilai tambah industri, yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan negara maupun perusahaan, sekaligus menciptakan keadilan bagi rakyat.

Syukur, sebagian besar perusahaan tambang asing menunjukkan itikad baik atas rencana pemerintah Indonesia me-review kontrak-kontrak investasi. Bahkan, sebanyak 60% perusahaan tambang asing sudah bersedia untuk renegosiasi kontrak.

Belajar dari Bolivia

Meski begitu, sikap skeptis public atas rencana pemerintah tersebut masih mengemuka. Ini terutama karena begitu kuatnya hegemoni perusahaan-perusahaan besar dari Amerika Serikat, Eropa, dan Negara-negara lainnya. Sikap skeptis juga tetap membayang karena public masih trauma atas sejumlah kebijakan brilian dari presiden yang terbukti kurang mampu diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh para pembantu, yaitu para menteri kabinet.

Tapi, apa pun respons publik atas rencana tersebut, semua kalangan sudah memiliki kesamaan pandang bahwa kontrak karya harus segera ditinjau ulang. Pemerintah, parlemen, lembaga swadaya masyarakat, dan semua kalangan masyarakat sejatinya sangat menginginkan renegosiasi kontrak karya sesegera mungkin dilaksanakan.

Bagaimanapun bangsa Indonesia tidak ingin terus menjadi negara — seperti disebut Joseph Stiglitz — “kutukan sumber daya alam”. Stiglitz sendiri, pada 2007 lalu, pernah memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk negosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasikan merugikan kepentingan rakyat. Peraih nobel ini yakin, jika pemerintah berani renegosiasi kontrak karya, Indonesia akan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.

Namun, dalam praktiknya, renegosiasi bukanlah perkara mudah. Diperlukan keberanian, konsep matang, dan langkah strategis yang terencana, terukur, dan logis. Untuk ini, pemerintah dapat belajar dari pengalaman Venezuela dan Bolivia yang sudah terbukti sukses menuntaskan masalah kontrak karya di negara mereka. Di Venezuela, Presiden Hugo Chaves dengan langkah unilateralnya berani mengubah 32 perjanjian operasi dengan perusahaan minyak asing menjadi joint ventures, yang membuat PDVSA (Pertaminanya Venezuela) menguasai 51% saham. Alhasil, Venezuela, yang pada 1989 menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF), kini punya dana lebih untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, bahkan menjadi donor bagi 24 negara.

Hal serupa terjadi di Bolivia. Presiden Evo Morales mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 28701 tentang Nasionalisasi Industri Migas. Melalui kebijakan ini, Bolivia menasionalisasi tanpa konfiskasi atau ekspropriasi, dengan memberikan kompensasi (ganti rugi) terhadap korporasi asing. Dekrit itu menegaskan, cadangan minyak dan gas Bolivia dinasionalisasi, 51% saham pemerintah yang pernah diprivatisasi diambil kembali, dan seluruh perusahaan migas asing harus menyetujui kontrak baru yang ditentukan Yaciementos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB) – BUMN-nya Bolivia.

Kebijakan Venezuela dan Bolivia di atas mestinya dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia, meski tak seradikal dua negara Amerika Latin tersebut. Nasionalisme, keberanian, ketegasan, komitmen, dan kemandirian bangsa harus menjadi spirit utama dalam renegosiasi. Kepentingan nasional di atas kepentingan korporasi asing harus dijadikan dasar pijak bagi pemerintah dalam renegosiasi.

Peta Jalan

Sembari renegosiasi berjalan, pemerintah dan DPR perlu juga segera merevisi sejumlah peraturan perundang- undangan yang isinya belum secara tegas melindungi kepentingan nasional dan hak rakyat untuk mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan sumber daya alam. Undang-undang yang perlu direvisi itu, antara lain Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU No 22/2001 tentang Migas, dan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Dalam UU Minerba, misalnya, posisi tawar pemerintah lemah, karena hanya mampu mendapat 10% dari 100% pembagian hasil bersih produksi. Sementara itu, UU No 25/ 2007 tentang Penanaman Modal sangat merugikan kepentingan nasional karena memberikan kewenangan kontrak karya selama 95 tahun kepada perusahaan asing. Tanpa ada revisi terhadap sejumlah UU di atas, maka renegosiasi kontrak karya tidak akan berjalan efektif dan lagi-lagi kepentingan nasional kembali dikalahkan.

Selain revisi UU, pemerintah juga perlu segera menyusun peta jalan (roadmap) industri pertambangan dan migas di Indonesia. Sejumlah hal yang patut dimasukkan dalam desain besar tersebut, antara lain aturan main tentang royalti yang diberikan perusahaan tambang kepada negara, kewajiban perusahaan tambang menjual minimal 51% saham kepada pemerintah Indonesia, paradigma pembangunan pro-environment, dan lain-lain.

Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, bukanlah suatu hal yang mustahil bila Indonesia akan masuk dalam deretan negara ekonomi kuat di dunia. Bila kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ini dikelola secara baik, bijak, berkeadilan, dan penuh tanggung jawab, mungkin takkan ada lagi penduduk miskin dan barisan para penganggur di Tanah Air kita.

*Ketua FPKB DPR RI, Artikel ini pernah di muat di harian Investor Daily 16 Juni 2011

Berita Terkait