Kamis, 28 Juli 2011

Menegakkan Politik Pangan Kita

Oleh: Marwan Ja'far

Ancaman krisis pangan terus menyedotkan hawa cemas dan getir. Harga-harga pangan kian melambung. Kondisi alam disebut-sebut sebagai penyebab krisis pangan saat ini, selain isu global warming.
Kini, masalah pangan sudah masuk ke ranah politik dan menjadi persaingan keras antar rezim di semua negara untuk menyelamatkan rakyatnya. Komoditas pangan saat ini tidak hanya dikonsumsi sebagai makanan pokok umat manusia, tetapi telah melebar menjadi bahan baku energi. Fenomena ini harus diantisipasi sebagai bagian gejala peningkatan harga pangan dunia. Jagung, tebu, kedelai, singkong, kelapa sawit dan komoditas pangan ditransformasikan menjadi energi sehingga permintaannya berganda dan cenderung meningkatkan harga.

Tak ayal, permintaan komoditas pangan dunia akan terus meningkat dan menimbulkan persaingan ketat antara permintaan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan pangan sebagai bahan bakar industri. Kita perlu waspada, tingginya harga pangan dunia akan menyeret Indonesia pada keterseokan ekonomi.
Ada postulat bahwa bicara pangan adalah bicara soal hidup dan matinya bangsa. Di era Orde Baru, pembelajaran manajemen pangan nasional dapat tergali begitu banyaknya. Program Bimbingan Massal (Bimas), sebuah program yang didesain untuk meningkatkan produksi padi tercatat telah membuahkan keberhasilan swasembada beras di tahun 1984 yang sekaligus menyisakan setumpuk problem pertanian pangan lantaran kuatnya Bimas mengadopsi Revolusi Hijau. Di era selanjutnya, pembangunan pertanian (pangan) berkebudayaan industri menjadi kebijakan pangan yang demikian menonjol. Sayangnya, kebijakan demi kebijakan seakan tidak diikuti dengan operasionalisasi yang serius di lapangan.
Hingga kini, soal ketahanan pangan masih menjadi isu strategis di pemerintahan. Bebagai perangkat perundangan pun telah dilahirkan demi mewujudkan ketahanan pangan, mulai dari UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, hingga Perpres No 22/2009 dan Permentan No 43/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumberdaya lokal.
Namun, mengapa ketahanan pangan kita seperti jalan di tempat? Apakah ini bukti politik pangan kita masih gamang ? Di sinilah, perlunya menjadikan politik dan kebijakan pangan sebagai kebijakan utama dengan memperkuat institusi yang ada seperti peranan Bulog, dewan ketahanan pangan, perencanaan produksi yang baik, perbaikan infrastruktur irigasi, dukungan kredit petani, subsidi dan perbaikan benih.
Ada tiga komponen penting dalam mengurai kebijakan dan manajemen pangan, yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Sistem pangan kita akan tangguh jika kita dapat menjamin ketiga komponen penting tersebut. Untuk menjamin ketersediaan pangan aman, maka berbagai strategi produksi mulai dari tata guna lahan, input teknologi bibit, penyediaan pupuk, pengendalian hama terpadu, hingga strategi pembiayaan usaha tani selama ini telah menjadi tugas sehari-hari Kementerian Pertanian. Jika saja pangan lokal dijadikan kebijakan serius, sesungguhnya kekurangan beras bisa ditutup dengan stok pangan non beras yang potensinya cukup melimpah. Tinggal bagaimana disiapkan teknologi yang tepat untuk menjadikannya sebagai sumber pangan pengganti beras.
Sementara, tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil. Di sini sangat dibutuhkan sentuhan kebijakan harga. Dengan begitu, setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan. Karenanya, politik pangan negara mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah.
Diversifikasi
Ide pengembangan pangan lokal sebenarnya bisa menjawab permasalahan krisis pangan. Cuma saja, selama ini kebijakan pengembangan pangan lokal tampak masih dijalankan setengah hati. Jelasnya, belum muncul upaya all out demi mewujudkan kebjakan pengembangan pangan lokal ini. Sekadar contoh, pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal masih sekadar muncul di lomba-lomba yang kental seremoni. Usai lomba, usai pula nasib pangan lokal.
Dari sisi konsumsi, menjadi penting untuk diperhatikan bagaimana pola konsumsi masyarakat kita yang masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Bahwa pola konsumsi pangan harus beragam, bergizi dan berimbang (3B) tampaknya belum dipahami masyarakat luas. Belajar dari keberhasilan kampanye ‘Empat Sehat Lima Sempurna’, mestinya kampanye 3B ini perlu terus digencarkan.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi inilah diversifikasi pangan perlu digenjot. Diversifikasi pangan menjadi penting mengingat kita memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang luar biasa besar yang hingga kini belum termanfaatkan dengan baik. Akhirnya, sudah saatnya, kita seharusnya merancang politik pangan yang andal demi menopang stabilitas pangan nasional dengan bertumpu pada kekuatan rakyat, dan bukannya diletakkan semata pada pasar global.
Marwan Ja’far,Ketua Fraksi PKB DPR RI.

Berita Terkait