Senin, 25 Juli 2011

NU, PKB, dan Nilai-Nilai Kebangsaan

Oleh : Marwan Ja'far*
 
Tak dapat dimungkiri, sejarah telah mencatat bahwa roh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah warga nahdliyin dan deklarator PKB tidak lain adalah para kiai NU yang dideklarasikan di Jakarta pada 23 Juli 1998.

Pahatan sejarah ini bisa ditarik dalam suatu garis lurus bahwa secara hubungan timbal balik antara NU dan PKB, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan begitu saja satu dengan yang lainnya.

Kelahiran PKB atas inisiatif warga nahdliyin demi tersalurkannya aspirasi warga nahdliyin, yang selama era Orba mengalami represi politik yang membuat warga NU tiarap tanpa mampu meluapkan ekspresinya secara maksimal.

Kesamaan Visi

NU lahir didorong oleh semangat kebangsaan yang tinggi, untuk mempertahankan Islam yang ramah dan mampu bersinergi pada nilai budaya setempat.Tandasnya, gerakan perjuangan yang dilakukan NU adalah menampilkan Islam rahmatan lil alamin.

Sementara itu, PKB lahir sebagai partai inklusif kebangsaan yang bersendikan dan menjunjung tinggi atas nilai-nilai dan ajaran NU dengan karakteristik yang nasionalis. PKB menyadari arti pentingnya keberagaman serta mengako-modasi kepentingan semua pihak, tanpa harus membeda-bedakan suku,ras,agama.

Dari sinilah, PKB meyakini sepenuhnya bahwa keindonesiaan yang mengacu pada landasan Pancasila, dengan penjiwaan hubungan tali persaudaraan antar sesama yang terikat dengan ikatan keagamaan (ukhuwah diniyah), kebangsaan (ukhuwah wathoniyah),dan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) merupakan jalan terbaik.

Pelaksanaannya dengan senantiasa mengedepankan semangat akomodatif, kooperatif, dan integratif, tanpa saling mempertentangkan antara satu dan yang lainnya. Sikap politik PKB tersebut tampak sekali sejalan dengan sikap NU yang menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984.

Seperti halnya pula,ungkapan yang kerap dilontarkan para petinggi NU bahwa NU haruslah tetap menjadi ormas garda depan yang mengukuhkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan. Khitah NU 1926 yang ditetapkan kembali pada Muktamar NU pada 1984 di Situbondo haruslah dipahami secara berimbang.

Pada dasarnya,khitah NU tidaklah membatasi gerak warga NU untuk berpolitik. Meminjam istilah Andree Feillard dalam NU Vis-a-Vis Negara (1999),“NU mungkin bukan sebuah gerakan politik, tetapi ia tetap akan menjadi suatu kekuatan politik. Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari arena politik.”

Politik kebangsaan dan kerakyatan NU juga telah dipertegas dalam Muktamar NU tahun 1989 di Krapyak, Yogyakarta. Gerakan politik kebangsaan NU tersebut merupakan aset yang berharga untuk dijadikan instrumen NU dalam mencapai cita-cita masyarakat madani, serta bagaimana strategi gerakan NU yang jitu dalam menjawab berbagai tantangan masyarakat yang menghalangi dan menghambat,atau bahkan mematikan potensi sumber daya NU.

Dari sinilah, tidaklah penting untuk mempertentangkan antara NU dan PKB. Pada kenyataannya, keduanya memiliki semangat perjuangan yang sama.Bila terus-menerus mempertentangkan antara NU dan PKB maka akan justru menyertakan suatu penundaan untuk berbuat kebajikan bagi semua pihak, baik dalam tataran dakwah Islam ahlus sunnah wal jama’ah maupun pembelajaran politik.

Berpacu dengan Waktu

Sejauh ini, kita terus-menerus berproses dalam kebangsaan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, yaitu menjadi bangsa yang memiliki identitas jati diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wajah dan coraknya tentunya telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan.

Nilai-nilai kebangsaan telah mengalami pasang-surut seiring dengan perubahan zaman dan tuntutan masyarakat. Cita-cita Indonesia merdeka, yang kemudian diulangi melalui beberapa perubahan besar dan kecil, yang pada dasarnya merupakan pengulangan komitmen bangsa ini untuk hadir sebagai bangsa yang modern dengan penghormatan yang penuh terhadap segi kemanusiaan warganya.

Karena itu, sungguh diperlukan reformulasi nilai-nilai kebangsaan dan kebersamaan sebagai bangsa, sebuah rumusan bersama untuk menentukan nilainilai yang patut dianut bersama sebagai keluarga bangsa.

Tak ada tempat lagi untuk menjadi hipokrit, menjadi bangsa yang kerdil dan menolak kemajuan- kemajuan dengan mengusung nilai-nilai yang sudah tidak relevan, seperti eksklusivisme, mengetengahkan kekerasan dan menolak kemajemukan, serta kemajuan yang hanya semakin menunjukkan kekerdilan di mata dunia.

Bangsa tidak dapat terwujud atau terbentuk dengan sendirinya. Bangsa harus dibangun atau dibentuk para pendiri dan pemimpin bangsa. Bangsa Indonesia dirintis pembentukannya melalui pembangkitan nilai-nilai kebangsaan yang ditanamkan, seperti oleh Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Sutomo.

Akhirnya,tak pelak NU dan PKB merupakan sebuah keniscayaan politik yang harus tumbuh dan berkembang apa pun rintangannya untuk diper-sembahkan bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini. Relasi NU dan PKB adalah historis, kultural, dan institusional.

Dalam tafsir praksisnya, khitah NU sesungguhnya “berakhir” ketika NU melahirkan PKB.Meskipun warga NU ada di manamana, berkiprah di semua parpol, akan tetapi fakta menunjukkan bahwa NU telah melahirkan PKB. Dengan sendirinya,ada pergeseran khitah secara orientasi dan tuntutan.

Orientasi pada penguatan nilai-nilai kebangsaan yang saat ini tengah mengalami penurunan kualitas merupakan rujukan utama dalam menata dan mempersiapkan langkah-langkah nyata bagi semua komponen bangsa, tak terkecuali NU.

Globalisasi dan modernisasi yang membuat banyak perubahan sikap dan mental masyarakat merupakan tuntutan bagi segenap anak bangsa untuk melakukan upaya transformasi secara masif, dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang bisa menjadi sumber ketahanan karakter bangsa.

Transformasi masif ini bisa dilakukan secara efektif dan terfokus melalui penguatan ormas keagamaan seperti NU dan partai berbasis kebangsaan dan keagamaan yang inklusif (dimuat di Harian Seputra Indonesia)

*Penulis adalah Ketua Fraksi PKB DPR RI 

Berita Terkait