Kamis, 19 Mei 2011

Persepsi Masyarakat terhadap Pemerintah Dipengaruhi Media

JAKARTA - Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam rata-rata survei hampir berbanding lurus dengan opini publik yang ada di media massa. Semakin miring opini publik di media massa terhadap pemerintah, semakin miring pula persepsi masyarakat terhadap pemerintah.

Hal itu dikatakan Sekretaris F-PKB DPR RI M Hanif Dhakiri, mengomentari hasil survei Indo Barometer yang menyebut tingkat kepuasan publik terhadap Presiden SBY dan Wapres Boediono tembus di bawah 50 persen.

JAKARTA - Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam rata-rata survei hampir berbanding lurus dengan opini publik yang ada di media massa. Semakin miring opini publik di media massa terhadap pemerintah, semakin miring pula persepsi
masyarakat terhadap pemerintah.

Hal itu dikatakan Sekretaris F-PKB DPR RI M Hanif Dhakiri, mengomentari hasil survei Indo Barometer yang menyebut tingkat kepuasan publik terhadap Presiden SBY dan Wapres Boediono tembus di bawah 50 persen.

"Saya menyebut kecenderungan ini sebagai 'efek media'. Artinya, opini medialah yang paling berpotensi menggerakkan opini masyarakat dan persepsi masyarakat terhadap sesuatu," kata Hanif kepada wartawan, Senin (16/5).

Hanif mengatakan, peran media begitu besar dalam membentuk dan atau menggiring opini publik.
"Masalahnya adalah bahwa media massa dewasa ini tidak melulu memberitakan fakta dari suatu peristiwa. Seringkali kita menemukan di sana justru opininya yang lebih kuat ketimbang fakta peristiwanya. Akibatnya sering tak bisa dikenali mana fakta dan mana opini."

Belum lagi, lanjut Hanif, prinsip cover both sides dalam media juga terus menurun dari waktu ke waktu. "Efeknya jadi kita rasakan betapa kebebasan pers dalam konteks transisi demokrasi masih cenderung lebih banyak menstimulasi social distrust ketimbang penguatan sistem dan kelembagaan demokrasi," ujarnya.

Ketua DPP PKB ini mencontohkan, berita anggota DPR tidur di rapat paripurna. "Selama ini ya hanya berita tidur itu aja yang muncul. Saya belum pernah menemukan media massa yang mencoba mencari tahu mengapa seorang anggota DPR tidur di rapat paripurna. Apa karena yang bersangkutan malas yang artinya mengganggap itu sebagai problem individual, ataukah karena sistem paripurna tidak cukup memadai sehingga memicu orang untuk tidur."

Pemberitaan soal ini dengan melihat tidur sebagai problem individual, tentu berakibat nyinyirnya masyarakat terhadap institusi DPR. "Tapi, dengan perspektif penguatan sistem demokrasi, masalah anggota DPR tidur itu bisa jadi entry point untuk mendorong penguatan sistem dan mekanisme persidangan DPR. (sumber: jurnalparlemen.com)

Berita Terkait