Rabu, 08 Juni 2011

Arah dan Kualitas Politik Anggaran DPR

Oleh: Marwan Ja'far*

Fungsi anggaran Dewan Perwakilan Rakyat tengah mendapat sorotan tajam dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan media. Hal ini salah satunya dipicu oleh dugaan mereka bahwa masih ada rapat-rapat pembahasan anggaran di DPR yang berlangsung tertutup dan sama sekali tidak bisa diakses oleh publik. Proses yang tertutup itu disebut-sebut berpotensi melahirkan praktek politik anggaran yang lebih mengutamakan "kesejahteraan" anggota DPR daripada perjuangan aspirasi rakyat dan daerah. Tak hanya itu, sebagian kalangan juga menilai adanya rapat anggaran yang tertutup telah mengubah politik anggaran DPR dari yang semula memperjuangkan kepentingan rakyat maupun aspirasi daerah pemilihan di DPR berubah menuju politik anggaran berbasis pemenuhan kepentingan diri dan golongan. Inilah yang mencuatkan isu adanya calo anggaran.

Namun, seperti diungkapkan Ketua DPR (27 Mei 2011), isu tersebut antara ada dan tiada. Dikatakan ada tapi faktanya sulit dibuktikan. Dikatakan tiada tapi realitasnya ada. Mayoritas anggota DPR sudah pasti tidak melakukannya. Andai pun ada, hanya satu atau dua orang yang tidak tahan untuk memanfaatkan posisinya guna kepentingan pribadi atau golongan.


Seharusnya publik tidak perlu mencurigai DPR terkait dengan isu calo anggaran ini. Sebab, pernyataan Ketua DPR tersebut sudah cukup menampik tudingan sebagian kalangan belakangan ini. Lebih baik publik mengarahkan energi dan perhatian mereka pada upaya mendorong terwujudnya peningkatan dan optimalisasi fungsi anggaran DPR. Sebab, fungsi anggaran DPR merupakan alat ukur yang menunjukkan keberpihakan DPR terhadap konstituennya dalam perwujudan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disusun setiap tahun.

Sebagai alat ukur representasi, kualitas fungsi anggaran DPR tecermin dari seperti apakah politik anggaran yang diperjuangkan anggota DPR dalam rapat-rapat pembahasan anggaran dengan pemerintah, utamanya terkait dengan perjuangan aspirasi konstituen dan daerah pemilihan. Idealnya, DPR harus memainkan politik anggaran yang berbasis pada prinsip pro-poor budgeting, berpihak kepada kaum miskin, kepentingan nasional, dan bukan asing. Artinya, politik anggaran yang dimainkan oleh DPR harus mampu menjawab persoalan yang disebut oleh V.O. Key sebagai "masalah dasar penganggaran", yakni "dengan keterbatasan sumber daya, atas dasar apa kita mengalokasikan x dolar untuk aktivitas A daripada untuk aktivitas B?" (Key, 1940). Dengan demikian, politik anggaran DPR bagaimanapun tidak boleh jauh dari ekspektasi publik maupun tujuan pembangunan nasional.

Namun harus diakui bahwa politik anggaran yang diperjuangkan oleh DPR periode ini masih belum berjalan optimal. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumber kendala, yakni pertama, tidak kurang dari 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 adalah figur-figur baru dengan pengalaman yang masih minim dalam pembahasan anggaran. Kedua, modal politik yang dimiliki oleh sebagian anggota baru DPR yang diperoleh melalui pembinaan atau kaderisasi oleh partai politik dirasakan masih belum cukup memadai. Akibatnya, sejumlah anggota DPR memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dalam dinamika demokrasi, politik, maupun pembahasan anggaran yang terjadi di DPR. Ketiga, sistem pendukung (seperti keahlian, budget office, data, dan teknis) yang masih lemah. Ini mengakibatkan anggota DPR kurang mendapat dukungan yang memadai dalam melaksanakan fungsinya sebagai anggota DPR, utamanya dalam menjalankan fungsi budgeting.

Politik alokasi
Karena itu, untuk memperbaiki kualitas politik anggaran DPR yang benar-benar mampu merepresentasikan bekerjanya fungsi anggaran parlemen, diperlukan sejumlah langkah sistemik, komprehensif, dan bersama-sama dari DPR, fraksi-fraksi, dan partai politik. Sejumlah langkah strategis yang mendesak untuk dilakukan itu di antaranya, pertama, meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran anggota DPR tentang politik anggaran dan masalah dasar penganggaran. Dalam konteks ini, esensi politik anggaran yang harus diperjuangkan oleh DPR sejatinya adalah mengaktualisasikan tiga fungsi anggaran sebagaimana menurut Richard Musgrave (1959), yakni fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam setiap kali melakukan pembahasan anggaran dengan pemerintah.

Terkait dengan fungsi alokasi, anggaran merupakan sebuah instrumen pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Di negara kita, fungsi alokasi ini kerap disebut sebagai "belanja pembangunan/publik", yang wujudnya dapat berupa pembangunan fasilitas publik, pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, dan perumahan) hingga bantuan untuk pemberdayaan masyarakat. Dalam fungsi alokasi ini, politik anggaran yang seharusnya diambil oleh DPR adalah memastikan agar alokasi APBN untuk belanja pembangunan atau belanja publik tersebut semakin tahun kian besar jumlahnya.


Kemudian berkenaan dengan fungsi distribusi dari anggaran. Dalam pandangan Musgrave (1959), anggaran dinilai sebagai sebuah instrumen untuk membagi sumber daya dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata. Fungsi ini ditujukan untuk mengatasi jurang kesenjangan antara daerah maju dan daerah tertinggal, antara desa dan kota, maupun antara penduduk kaya dan yang miskin. Untuk itu, politik anggaran yang harus diperjuangkan oleh DPR bagaimana mengubah wajah dan postur APBN agar semakin berpihak kepada orang miskin (pro-poor budgeting), memperjuangkan alokasi anggaran terintegrasi untuk desa (setidaknya 10 persen dari APBN), dan kian besar desentralisasi anggaran ke daerahnya, khususnya daerah-daerah tertinggal.

Sedangkan dalam fungsi stabilisasi dari anggaran, penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan mempengaruhi agregat dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi, yakni terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan stabilitas ekonomi makro, seperti nilai tukar, laju inflasi, dan harga barang. Untuk itu, politik anggaran yang dapat dimainkan adalah mendorong kepada pemerintah agar segera menerapkan politik anggaran berimbang untuk menggantikan politik anggaran defisit yang selama ini diterapkan pemerintah. Politik anggaran berimbang ini layak diperjuangkan oleh DPR, karena besaran utang Indonesia yang melampaui angka Rp 1.687 triliun membuka kemungkinan Indonesia terperangkap dalam kubangan utang yang tidak berkesudahan.

Kedua, DPR dengan kewenangan politik anggaran yang dimilikinya mempunyai kewajiban secara kolektif untuk memikirkan desain dan politik anggaran yang dapat mempercepat kesejahteraan rakyat dan mendorong pemerataan pembangunan. Apalagi secara tegas pemerintah telah mencanangkan forecast anggaran yang bercirikan pro-growth, pro-poor, dan pro-job. Tentu saja tidak mudah membuat desain dan politik anggaran untuk percepatan serta pemerataan pembangunan yang merupakan kunci awal politik anggaran untuk membalikkan piramida anggaran, dengan harapan ada dorongan untuk memacu pembangunan daerah dan mempercepat pemerataan pembangunan antardaerah.

Terakhir, politik anggaran adalah roh pelaksanaan fungsi anggaran dari parlemen. Karena itu, DPR tidak boleh lagi bermain-main dalam memilih politik anggaran yang hendak diperjuangkan hingga 2014. Untuk itu, kesadaran kolektif politik anggaran dari DPR yang masih belum terbebas sama sekali dari pragmatisme dan mengikuti irama kepentingan jangka pendek, minus strategi besar, serta lebih berjangka panjang harus segera dipecahkan secara kolektif dan sistemik.

*Marwan Ja'far, Ketua FPKB DPR RI, Artikel ini pernah dimuat di Harian Koran TEmpo tanggal 6 Juni 2011

Berita Terkait