JAKARTA - Ruyati menghabisi nyawa majikannya karena selama bekerja kerap mendapat kekerasan. Hal itulah yang membuat nyawa Ruyati berujung hukuman pancung berdasar vonis pengadilan. Kekerasan pada TKI bukan kali ini saja terjadi. Salah satu pemicunya karena relasi majikan-PRT yang kurang baik karena PRT dianggap budak.
"Salah satu faktornya adalah karena terkait sosial budaya yang masih banyak menganggap PRT adalah budak. Relasi majikan dan pembantu itu salah satunya saja. Tapi kalau kita berefleksi juga pada TKI kita sendiri, barangkali ada kelemahan TKI kita juga," kata Sektertaris FPKB Hanif Dhakiri.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Hanif, Selasa (21/6/2011):
Masalah TKI di Arab Saudi lagi-lagi terdengar. Kenapa?
Saya kira ini karena 4 hal. Pertama, karena Arab Saudi itu negara teokrasi yang berlandaskan agama Islam. Apa hubungan dengan TKI? Karena teokrasi, maka berpusat pada raja dan dalam sistem kerajaan itu, posisi perempuan lemah. Sekarang ramai wacana perempuan di sana boleh menyetir mobil, di mana sebelumnya belum boleh.
Nah, dalam struktur kekuasaan yang teokratis itu tidak memberi tempat yang cukup terhormat pada perempuan. Sekarang bayangkan, kalau posisi warga perempuannya sendiri saja masih lemah, bagaimana jika berhadapan dengan perempuan negara lain. Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Saudi itu kan banyak perempuan, sehingga kerawanan pada perempuan juga tinggi.
Kedua, dari sistem hukum, di sana diterapkan sistem hukum Islam yang ditafsirkan kaku dan ketat, misalnya dalam penerapan qisas. Padahal dalam hadist dicantumkan bahwa hukum qisas memungkinkan pengampunan, jika pembunuhan terjadi karena faktor kelalaian atau terpaksa.
Saya jadi bertanya, kalau yang berbuat keji itu majikan, apakah hukum juga dijalankan dengan kaku. Kalau kita baca dari banyak pengamat, sepertinya ada diskriminasi dalam penerapan hukum di sana. Kalau majikan yang melakukan pidana, kemungkinan pengampunan lebih tinggi. Padahal TKI kita melakukan pembunuhan juga karena terpaksa, karena dilecehkan dengan perbuatan kasar yang diterima terus menerus, diperkosa, dianiaya, sehingga itu seperti reaksi pembelaan diri.
Ketiga, soal budaya. Budaya di Arab dalam pengamatan saya, masih menganggap pembantu seperti budak. Hal itu masih cukup kental di masyarakat Arab karena struktur kekuasaan yang teokratis sehinga tradisi zaman jahiliyah mendominasi mindset mereka. PRT dianggap budak sehingga bisa diperlakukan apa saja. Relasi majikan dan pembantu menjadi tidak sehat. Ini masih cukup banyak terjadi.
Terakhir, karena MoU perlindungan TKI antara pemerintah kita dan Saudi belum disepakati. Pemerintah kita sudah mendesak, tapi sampai sekarang belum juga. Tapi targetnya tahun ini dan lebih cepat lebih baik. Pemerintah Saudi belum serius dalam upaya penandatanganan ini. Kalau MoU sudah disepakati maka jaminan perlindungan pada TKI relatif lebih baik.
Apa yang menjadi pemicu kekerasan pada TKI kita di Saudi?
Salah satu faktornya adalah karena terkait sosial budaya yang masih banyak menganggap PRT adalah budak. Relasi majikan dan pembantu itu salah satunya saja. Tapi kalau kita berefleksi juga pada TKI kita sendiri, barangkali ada kelemahan TKI kita juga. Misalnya soal kemampuan berbahasa. Kalau kemampuan berbahasanya tidak bagus, akhirnya lebih berpotensi konflik. Diperintah melakukan apa, malah yang dijalankan hal lain. Ini memicu majikannya jengkel. Meski soal ini saya kira tidak terlalu dominan, karena sebelum berangkat TKI kita sudah mendapat berbagai pelatihan.
Soal pancung pada Ruyati, keluarga korban tidak memaafkan. Membunuh karena membela diri tidak menjadi pertimbangan dalam penjatuhan vonis?
Saya tidak tahu persisnya. Tapi saya kira kalau ada kasus seperti itu, bukankah seharusnya ada mediasi dulu. Tapi dalam pemahaman saya, soal eksekusinya itu, yang akan dieksekusi kan warga negara lain, bukankah seharusnya otoritas negara yang bersangkutan diberi tahu.
Kalau benar apa yang disampaikan pemerintah bahwa tidak ada pemberitahuan tentang ini, memang sangat disayangkan. Kita tidak tahu prosesnya seperti apa, tahu-tahu sudah dieksekusi. Kalau benar otoritas Saudi tidak memberikan informasi, maka etika diplomasinya ya jelas tidak benar.
Kasus Ruyati yang sepertinya tidak ada diyat atau diyat dalam jumlah besar untuk kasus Darsem, apakah ini ada kaitannya dengan persoalan lobi?
Soal ini saya juga tidak tahu persis. Tapi kalau dari penjelasan pihak terkait, sudah tahu kasus itu cukup lama, tapi aksesnya terbatas. Kalau kita pasif ya memang jadi terbatas. Tapi kalau proaktif tentunya akan lebih tahu. Meskipun pihak Saudi tidak memberi tahu, tapi kalau kita mendesak bertanya sampai mana kasusnya dan sebagainya tentu kita bisa mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Sekarang ini ada 23 orang yang terancam hukuman mati di Saudi, kita sudah tahu kasus ini, makanya harus ada yang memantau terus. Memantau itu tidak menunggu disurati atau ditelepon, tapi proaktif mengecek sudah seperti apa kasusnya. Bisa juga bertanya apa yang bisa dilakukan agar hukumannya lebih ringan. Kalau di level pemerintah lebih proaktif maka dampaknya bisa lebih menyelamatkan. Kasus Ruyati ini harus jadi yang terjadi.
Pendapat Anda soal moratorium yang tengah disiapkan langkah-langkahnya?
Moratorium itu berarti memberi kesempatan pada Indonesia dan Saudi untuk memajukan proses negosiasi, mempercepat proses negoisiasi terkait masalah perlindungan TKI demi penyelesaian masalah yang ada dengan baik. Lebih dari 200 ribu orang Indonesia membantu devisa Saudi melalui haji dan umroh, dan saya kira ini juga bisa menjadi bargaining yang baik dalam proses negosiasi.
Kalau soal moratorium itu masih cukup logis. Katakanlah moratorium 3 bulan, jadi dalam kurun waktu itu tidak ada pengiriman TKI. Namun yang masih bekerja di Saudi ya dibiarkan bekerja.
Kalau harus menarik TKI dari Saudi, apakah Anda rasa Indonesia sudah cukup berani?
Saya kira ini dilematis. Harus lebih bijak dalam melihat persoalan. Kalau menarik TKI maka pemerintah harus menyediakan lapangan kerja. Kalau lapangan kerja tersedia banyak maka bukan masalah menarik TKI dari Saudi. Karena idealnya, warga negara Indonesia ya harus cari makan di Indonesia. Kalau ini belum memungkinkan maka dipersilakan mencari kerja di tempat lain dengan tingkat risiko yang lebih rendah.
TKI kita di Saudi kan sebagian besar adalah PRT. Kabarnya Kemenakertrans sudah mendorong agar yang dikirim adalah tenaga kerja yang lebih terdidik dan terlatih. Kalau itu terlaksana artinya sektor yang diincar lebih baik secara sosial. Jadi ke depannya, pekerja informal di industri, pertambangan, hotel dan sebagainya bisa ditingkatkan.
Hubungan Indonesia dan Saudi bisa memanas karena kasus TKI?
Kasus ini sudah sering terulang, sehingga tentu akan mempengaruhi hubungan diplomatik, dan kalau selalu terulang tidak bagus untuk kedua negara. Pemerintah Indonesia butuh Saudi dan sebaliknya Saudi juga butuh Indonesia. Hubungan keduanya harus dijaga dengan baik oleh kedua belah pihak.
Ke depan kalau ada eksekusi ya sebaiknya otoritas Saudi memberi tahu Indonesia, mengundang otoritas Indonesia. Kalau tidak maka akan dipertanyakan etikanya, meski sistem hukum mereka begitu. Saya kira kalau soal ini jangan kaku.
Kita juga ada hukuman mati kepada warga negara lain yang terlibat narkoba seperti dari Australia itu. Kita juga memberi tahu negara asal yang akan dieksekusi. Kalau tidak diberi tahu maka etika diplomatiknya jadi buruk. Saya minta dalam kasus ini semua pihak lebih proporsional dalam melihat masalah, sehingga bijak dalam mengambil keputusan. Jangan mengambil keputusan di saat marah. (sumber:detik.com)