Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI M. Hanif Dhakiri berharap revisi UU Migas bisa cepat diselesaikan tahun ini dan menjadi momentum khittah untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa dan negara Indonesia, sesuai amanat konstitusi.
"Kita berharap secepatnya selesai tahun ini dan menjadi momentum kembali ke khittah kedaulatan ekonomi bangsa dan negara. Persis seperti amanat konstitusi kita", katanya di Gedung DPR/MPR hari ini (14/06/2011).
Menurut Hanif yang juga Ketua DPP PKB ini, pemerintah dan DPR perlu menyepakati arah dari proses revisi UU Migas tersebut. Dia menjelaskan beberapa hal pokok yang menurutnya harus menjadi perhatian demi menjaga kepentingan nasional Indonesia.
Pertama, arah revisi UU Migas harus semakin memastikan akomodasi yang optimal terhadap seluruh kepentingan nasional. Misalnya soal kewajiban pemenuhan pasokan minyak dan gas untuk keperluan domestik atau dalam negeri. Bagi Hanif, kewajiban pemenuhan pasokan minyak dan gas untuk keperluan dalam negeri harus lebih diutamakan dibanding yang lain.
"Penuhi dulu deh kebutuhan dalam negeri, baru mikir ekspor ke tempat lain. Nggak lucu kalau di rumah sendiri kita kekurangan tapi hasil produksi kita buang ke tempat lain", katanya.
Kedua, berkaitan dengan Pasal 22 ayat 1 UU Migas yang kira-kira berbunyi: badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi utk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Hanif, besaran maksimum DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 25 persen tersebut perlu dievaluasi. Apalagi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, pasal ini dinilai tidak menganut prinsip sebesar-besarnya bagi kmakmuran rakyat sebagaimana digariskan Pasal 33 UUD 1945.
Hanif menilai problem utama tentang kelangkaan pasokan gas untuk kebutuhan industri dalam negeri bisa diatasi dan mendapat landasan hukum yang kuat jika besaran maksimum DMO di atasi.
"Kebutuhan industri kita akan pasokan gas, misalnya, cukup besar. Nggak masuk akal kalau DMO-nya segitu terus. Lha wong itu juga kita yang punya kok", imbuhnya.
Ketiga, dalam proses revisi perlu didorong keperpihakan pemerintah yang sungguh-sungguh terhadap perusahaan nasional. Ini terutama kaitannya dengan peraturan terhadap perpanjangan kontrak dari kontraktor asing yang telah habis masa kontraknya. Begitu pula peraturan kontrak untuk kegiatan eksplorasi pada blok baru juga harus mempertimbangkan kepentingan nasional, sehingga porsi untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) nasional harus tetap mendapat prioritas.
"Saya melihat ada keperluan penambahan persyaratan baru juga untuk perpanjangan kontrak baru bagi perusahaan asing. Ini bisa terkait dengan soal teknologi maupun recovery persoalan lingkungan hidup akibat dampak eksploitasi", terangnya.
Keempat, revisi UU Migas juga harus diarahkan untuk memperjelas peraturan dari sektor hulu sampai sektor hilir. Sehingga problem pasokan, distribusi dan subsidi energi bisa berjalan dengan lancar. Ini berarti diperlukan evaluasi atas status Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu minyak dan gas bumi (BP-MIGAS) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH-Migas).
Dalam hal ini, lanjut Hanif, semangatnya adalah mengembalikan fungsi dan peran Pertamina sbg Integrated State Oil Company, yg melaksanakan pengusahaan sektor Migas yg mencakup eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, serta pemasaran.
Kelima, revisi UU Migas juga perlu ketentuan tegas yang mengatur mengenai kebijakan harga, yang di dalamnya mengakomodir peranan pemerintah dan DPR dlm menentukan harga BBM dan Gas Bumi. Dengan demikian, tegas Hanif, masalah harga tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa PKB ini percaya bahwa dengan arah semacam itu maka kedaulatan ekonomi bangsa dan negara Ind akan semakin tampak dan kuat. "Dengan begitu, kita berharap kerugian negara di sektor ini bisa terus ditekan dan penerimaan negara terus meningkat dari waktu ke waktu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", imbuhnya.
Hanif memandang tak cukup memadai menjadi sebuah negara-bangsa yang berdaulat scr politik jika tak berdaulat juga secara ekonomi.
"Ini saatnya kita menegaskan bahwa kitalah yang lebih berhak mengatur hal-ihwal kekayaan alam republik tercinta. Bukan orang lain. Inilah saat kita menjadi tuan di rumah sendiri", pungkasnya. (MHD)